Menangis Bukan Berarti Lemah

Coretan demi coretan kutorehkan di atas buku diariku. Kini, buku itu tampak hitam. Kusam. Sama halnya seperti diriku saat ini. Coretan hitam yang tak berbentuk itu memenuhi halaman buku. Belum lagi jejak pena yang ditinggalkan di halaman belakangnya, itu menandakan bahwa aku mencoretnya dengan keras.

Gigiku bergemelatuk diiringi peganganku dengan pena tadi kian mengerat, rasanya, aku ingin mematahkan semua yang ada digenggamanku saat ini.

Belum lagi, kepalaku seperti ditimpa batu yang keras. Pusing sekali rasanya. Saat ini, aku pusing dengan semua pikiranku yang bercampur aduk—tidak, bukan hanya pikiran, tapi juga perasaan.

Kebencian—perasaanku saat ini. Aku benci dengan diriku sendiri. Begitu lemah dan menyusahkan. Mudah sakit hati lalu menangis karenanya. Menyakitkan tapi juga melegakan. Memang, saat itu terjadi, dadaku mulai sakit, mataku ikutan memburam, tubuhku yang mulai lunglai, dan isi kepalaku yang berisik. Tapi hal itu juga membuatku merasa lega. Rasanya semua beban yang selama ini ku angkut hilang untuk sementara.

Ya..

Sementara.


××××××××××××××××××××××××××××


“ANGELINA!”

“I-iya ma..”

Dengan sigap aku membereskan tugas-tugas yang baru selesai dikerjakan, lalu berlari keluar kamar menuju sumber suara. Ah, aku berharap, aku akan baik-baik saja setelahnya.

Sesampainya disana—di ruang keluarga, aku melihat ibuku yang sedang menggenggam sebuah rapor di tangannya. Apakah itu raporku? Huh.. Dasar Elina bodoh! Tentu saja itu raporku. Aku ‘kan anak tunggal.

Menyadari kenyataan itu, aku terkekeh. Anak tunggal, ya?

“Angelina... KENAPA KAMU HANYA MENDAPAT RANKING 2?! MAMA ‘KAN MINTA KAMU BUAT DAPETIN RANKING 1!”

Gawat. Mama marah. Aku juga melupakan hari ini adalah hari penerimaan rapor.

Didepanku, Mama berdiri sambil menggenggam erat raporku itu. Wajah beliau sudah memerah karena marah. Sesekali beliau akan berbicara sambil menunjuk-nunjuk dahiku.

Aku takut.

“Angelina, Lihat mama! Jika rapor semester selanjutnya kamu tidak mendapatkan ranking 1, mama bakal kasih kamu hukuman!”

“Emang sebegitu susahnya, ya, dapetin rangking 1? Iya?! Mama aja dulu bisa tuh dapetinnya. Kamu itu harus niru mama! Harus pinter kayak mama! Ngerti, Angelina?”

Aku mengangguk dengan cepat. Mataku melirik mama yang mulai meninggalkan ruang keluarga. Huh, sepertinya aku harus belajar lebih giat lagi. Iya, aku harus bisa mendapatkan perhatian dan kasih sayang mama dengan cara mendapatkan rangking pertama di kelas! Minimal, jika itu bisa membuat mama senang, aku akan melakukannya.

Kakiku mulai bergerak menuju kamar. Tempat sekaligus saksi bisu saat aku berkeluh kesah. Menumpahkan emosi yang tak pernah kutampakkan di depan umum. Tempat ini adalah temanku.

Dengan pelan, aku menutup pintu. Tubuhku meluruh. Ini memang sudah sering terjadi. Tapi, entah kenapa rasa sakitnya tetap sama.

Aku ingin merasakan rasanya dipeluk orang tua saat aku terpuruk. Aku ingin rasanya mencurahkan keresahan hatiku, menceritakan hari yang kulalui hari ini, berbagi pengalaman dan perasaan, bertukar pendapat, dan ditatap dengan hangat.

Aku ingin.

Sangat.

Tubuhku mulai bergetar. Dadaku mulai sesak. Tidak, aku tidak boleh menangis. Aku ‘kan anak yang kuat. Aku ga boleh jadi anak yang cengeng. Mama ga akan suka kalo aku jadi anak yang cengeng.

Sesak di dadaku bertambah. Ah, apakah ini akibat dari menahan tangis? Aku pernah membaca di salah situs internet, jika seseorang memaksakan diri untuk tidak menangis, otak akan mengirim sinyal ke kelenjar adrenal untuk melepaskan hormon stres, seperti adrenalin dan kortisol. Hormon-hormon itu meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah, yang membuat dada sesak dan napas berat.

Apa yang harus kulakukan? Aku takut, jika aku menangis aku akan ketahuan oleh mama, dan mama semakin tidak menyukaiku. Tapi, ini sesak. Sangat.

Tiba-tiba sebuah ingatan terlintas di pikiranku. Suara dari seseorang yang dulu pernah menjadi sahabatku.

“Elin, kalo kamu cape dan pengen nangis, nangis aja. Gausah ditahan. Dengan tangisan, mungkin kamu bisa membuat perasaanmu lebih tenang, kamu juga bisa mengeluarkan rasa yang mungkin tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Menangis itu hal yang wajar,” ucapnya.

Lengang.

Sejenak kami menikmati langit yang mulai berwarna jingga. Indah.

“Kamu tau, saat menangis kita melepaskan endorfin dan ekstosin yang bisa bantu kita buat nanggung rasa sakit emosional dan fisik.”

“Jadi, lepasin aja, ya.”

Sosok itu menoleh setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya. Ia menatapku dengan tatapan yang penuh kehangatan. Senyumnya terlukis indah dan wajahnya yang diterpa sinar senja membuatku ingin mengabadikan momen itu.

“Iya, makasih ya...

Risya..”

Aku mulai menutup mata. Menikmati setiap kenangan-kenangan yang terus datang bermunculan. Memang menyakitkan. Tapi juga obat yang menenangkan.

Tes..

Setetes air mata jatuh ke pipiku. Air mata yang kutahan sedari tadi berhasil memenuhi keinginannya. Yah, ini menyenangkan, melegakan, juga menyakitkan.

Aku terisak.

Entah terisak karena kejadian tadi atau kenangan yang baru saja singgah.

Aku menangis selama 3 menit dan sudah puas dengan itu. Rasanya beban berat tadi terangkat. Lega rasanya.

Ya, walaupun begitu. Tangisan tadi kini membuat mata dan hidungku merah. Sisa-sisa air mata juga masih ada di wajahku. Huh, berantakan sekali diriku saat ini. 

"Ugh"

Aku berusaha mengeluarkan suaraku. Ya, suaraku menjadi serak. Tenggorokanku sakit.

Sejenak aku memikirkan kejadian tadi. Kalian tahu? Selama 3 menit itu, aku merasa ada sepasang mata yang melihatku.

















Sumber :

https://m.liputan6.com

https://health.kompas.com/read/2016/12/21/204505923/berbahayakah.menahan.tangis.?page=all


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer