Hipotimia?

 "RISYA!!"

Sontak panggilan itu membuatku membalikkan tubuh ke sumber suara. Entah gerangan apa yang membuat si sumber suara meneriaki ku pagi-pagi begini, padahal dia bisa mendekatiku daripada langsung meneriaki dari jauh. 

'Apa suaranya ga bakal serak?' Batinku bertanya. Sebenarnya aku tidak terlalu mengkhawatirkan itu, kecuali jika dia akan lomba nyanyi, paduan suara dan sejenisnya. 

Hanya saja.. aku malu.

Malu karna dia berteriak sambil memanggil namaku di tengah lapangan upacara...


'Safa...... Awas saja nanti, ya..'  

Seperti memiliki dua kepribadian, aku segera mengubah raut wajahku. Tak lupa senyum manis terpasang saat tubuhku berbalik menghadapnya.

Dengan raut ceria, aku berjalan mendekati Safa. 

"Ehh, ada Safaa" jawabku membalas teriakannya tadi. Tetap dengan raut ceria dan senyum manis, aku berlagak seperti seorang 'teman' yang baik. Aku membimbing dia ke kelas dengan pandangan yang tak beralih darinya.

"I-iyaa.." Safa menjawab dengan gugup, entah dia yang mengetahui niatku dan merasakan tanda 'bahaya', aku pun tidak tau.

"Safa~ Kamu tau, gak? Kamu tadi berteriak di tengah lapangan upacara, lho~ Bukannya kamu tau, aku itu ga suka jadi bahan perhatian, kecuali jika ada hal genting, dan penting," desisku. 

"I-iyaa.. aku minta maaf yaaa, aku hanya tidak bisa mengendalikan diriku tadiiii. Maaff yaaaaa.. Sekali lagi aku minta maafffff..," Safa meraih tanganku sambil mengucapkan kata 'maaf', dia terus mengatakan kata itu berulang-ulang, sambil memperlihatkan wajahnya yang tak bersalah.

Aku berhenti di depan kelas, tetap dengan senyum manis, aku membalas perkataannya.

"Tenang aja. Aku bakal maafin kamu, kok. Tapi sebelum itu..," 

Dengan sengaja aku menjeda perkataan ku. Aku mendekat perlahan ke arahnya, lalu ku arahkan jariku di dahinya.

Tuk 

"Shh.. Risya kok nyentil dahi Safa, sihhh!! Dahi Safa jadi merah kan jadinya!," gerutu Safa. Dia terus mengomel sambil mengelus dahinya yang baru saja ku sentil. Entah apa yang dibicarakannya, aku hanya mendengar sekilas. Karna aku tau, perkataannya itu hanya berisi omelan akibat dahinya ku sentil tadi.

Aku hanya menggelengkan kepalaku saat melihat Safa masih mengomel, padahal ini sudah hampir 20 menit.  



 ( ◜‿◝ )♡( ◜‿◝ )♡( ◜‿◝ )♡


Teng Teng Teng 


Bunyi bel istirahat telah berbunyi. Dengan sigap aku membereskan buku-buku dan alat tulis, sehingga mejaku kini bersih dari benda-benda yang bersangkutan dengan pelajaran sekolah.  

Aku pun mengajak Safa untuk pergi ke kantin. Entah kenapa secara kebetulan, kami kompak tidak membawa bekal, padahal biasanya kami selalu membawanya. 





"Kenyang..."

Safa yang pertama kali memecahkan keheningan. 

"Saf Saf, tau ga?" Tanyaku.

Aku memutuskan untuk bertanya karna  tidak tahan dengan keheningan yang kami buat.

"Enggak," jawab Safa. Dengan entengnya dia menjawab 'tidak' sambil memperlihatkan giginya yang rapi, alias nyengir.

Aku mendengus. 

 "Gini, aku ga nyangka aja, gitu, kalo kita bakal deket kaya gini. Ibaratnya kayak surat sama perangko. Lengket. Kemana-mana always sama-sama. Hampir selalu, maksudnya," cerocosku. Aku mulai bercerita setelah menghabiskan jajanan yang telah ku beli tadi dengan posisi yang menghadap ke arah Safa--teman sebangku ku.

Safa hanya diam. Mempersilahkan ku untuk kembali bercerita.

"Dulu, pas awal-awal mau dekat, aku suka di bikin pusing sama sifat kamu. Kamu yang tiba-tiba cerewet, kamu yang tiba-tiba emosional, sama kamu yang tiba-tiba cuek ga pedulian,"

Aku dapat melihat bibir Safa yang sedikit membentuk senyuman.

Aku terkekeh.

"Kamu itu, dulu suka bilang sama aku, perkataan yang sama--berulang kali. Kamu bilang, 'Aku cape, aku pengen rajin kayak yang lain, tapi aku malas buat ngelakuin perubahan. Aku pengen sukses, tapi aku belum punya banyak ilmu, dan untuk dapetin ilmu itu aku harus belajar, tapi lagi-lagi aku ga ada semangat buat ngelakuin sesuatu', "

"Intinya, kamu itu dulu kayak orang yang, maaf--ga punya gairah hidup. Mau lakuin sesuatu bawaannya cape, ga semangat, malas.. sampe-sampe waktu itu aku dibuat heran sama kamu. Kok bisa, ya? Itu kalimat pertama yang ada dalam pikiranku," 

Safa tetap diam dan mendengarkan. Sepertinya dia sedang menunggu perkataan yang selanjutnya akan ku ucapkan.

Aku tersenyum.

"Kamu tau, segala sesuatu itu ga gratis, kalo kamu mau rajin, lawan malas itu! Kalo kamu mau sukses, tuntut lebih banyak ilmu--belajar! Memang sulit, tapi seenggaknya kamu bisa ngelakuin perubahan sedikit demi sedikit! Daripada kamu stuck disitu aja dan ga pernah mencoba untuk berubah, hanya berdiam diri di tempat yang sama, kamu bisa ketinggalan!"

Mendadak aku merasakan mataku berair. Segera ku alihkan mataku ke atas, berusaha untuk menghalau cairan bening yang ingin keluar.

"Salah satu ilmuwan terkemuka--Albert Einstein saja pernah berkata, "Hidup itu seperti mengendarai sepeda, untuk menjaga keseimbangan, Anda harus terus bergerak,"

Makin lama, aku berbicara semakin panjang. Air mata yang ku tahan sedari tadi pun, lolos keluar. Segera ku hapus cairan bening itu dengan cepat.

Sekilas aku melirik Safa yang matanya telah tampak berair.

Melihat itu membuatku menyunggingkan senyum samar.

"Paham, 'kan?" Tanyaku. Aku ingin memastikan saja, dan terjawab sudah pertanyaan ku saat melihat dia mengangguk dengan senyumannya yang lebar. 












Tiba-tiba, aku teringat sesuatu. Ingatan itu membuatku terkekeh. Hanya saja, kekehan ku kali ini berhasil mencairkan keadaan yang tadinya mengundang air mata.

Entah kekehan ku yang tertular atau bagaimana, Safa pun ikut terkekeh sambil mengusap sedikit matanya yang berair tadi. 

"Kamu tau ga, Saf? Dulu aku mengira kamu itu punya mood Hipotimia, lho,"

Pertanyaan ku menciptakan kerutan di dahi Safa.

"Apaan tuh?" tanyanya. 

Lega rasanya setelah mendengar dia berbicara. Mau bagaimana lagi, dari tadi aku khawatir kenapa dia hanya diam dan menjadi pendengar. Aku sempat mengira dia sakit atau sariawan. Atau memang mood dia nya saja yang ingin diam.

"Ehem, menurut informasi yang kudapatkan di internet, Hipotimia itu kayak keadaan seseorang yang selalu sedih, murung, ga punya semangat, dan ngeluh mulu," jelasku.

"Ooo seperti itu toh..," sahut Safa. Kepalanya mengangguk-angguk pertanda dia sudah mengerti.

"Aku ga tau juga sih.. apa aku punya mood Hipotimia atau ga" lanjutnya.


Teng Teng Teng


"Yaudah, ini bel masuk udah bunyi, nanti aja kita lanjutin obrolan tadi ya!" Seruku. 

Safa menyetujui seruanku. Kami pun segera mempersiapkan buku yang akan kami pelajari.


































































>>>>>>>>>>

"Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan."

~ Imam Syafi'i 













Komentar

Posting Komentar