It's Me!

Aku mematut diriku di depan cermin. Disana, tampak wajahku yang penuh jerawat dan berminyak. Aku kesal melihatnya. Disaat teman-temanku yang lain memiliki kulit wajah yang bersih dan sehat, aku malah sebaliknya. Menyadari kenyataan itu, aku semakin iri dengan teman-temanku yang lain. Bagaimana kulit mereka bisa seperti itu? Apa tipsnya? Aku juga menginginkannya.

Aku menghela napas lelah. Mataku berkeliaran mencari letak jam. 23.45.

Dengan pelan aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Berharap wajahku ini dapat berubah menjadi lebih sehat saat aku terbangun besok.

Aku tertawa. Yakali. Memang ya, makin malam makin banyak imajinasi yang dikeluarkan.


>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>


“Eliza!”

Sontak aku menoleh ke belakang. Disana terdapat sosok yang sangat kukenal. Maida, namanya. Persis seperti namanya, ia merupakan sosok yang indah nan cantik. Walaupun begitu, ia tak pernah menyombongkan dirinya dan bergaul dengan semua orang. Banyak yang senang berteman dengannya. Termasuk diriku.

“Eh, Maida. Hai!!” balasku sambil menunjukkan senyum andalanku.

Akhirnya, setelah berbincang-bincang sebentar, kami memutuskan untuk kelas bersama. Ya.. kebetulan di tahun ini kami mendapatkan kelas yang sama.

Teng Teng Teng

Bel sekolah pun berbunyi. Semua murid masuk ke dalam kelas untuk menyambut ilmu yang akan mereka pelajari.

Begitupun denganku. Saat ini, aku sedang duduk di samping jendela sambil memerhatikan guru yang sedang mengajar. Guru tersebut menjelaskan materi sambil menulis angka-angka dan huruf di papan tulis.

Ya, Matematika. Rasanya jika aku sedikit saja lengah dari pelajaran ini, aku akan kehilangan arah. Tersesat. Bingung. Dan ujung-ujungnya aku hanya planga-plongo menatap guru yang sedang mengajar. Dan itu rasanya sangat tidak menyenangkan. Aku seperti orang yang bodoh di tengah-tengah orang pintar.

Tapi itu dulu ‘sih. Sekarang mah, beda. Aku sudah bertekad untuk fokus saat guru sedang mengajar. Apalagi yang ada angkanya. Harus siap siaga.

“Liza.. ssttt...”

Maida berbisik. Ia berusaha memanggilku dengan meminta temannya agar aku dapat melihatnya.

Aku menoleh. Melihat Maida yang sepertinya sudah lega karena akhirnya aku melihat dirinya. Sebelumnya aku sudah memastikan jika guru masih sibuk menelepon diluar kelas. Walaupun gurunya diluar, tetap saja kami tidak boleh meribut. Makanya, Maida berbicara sambil berbisik.

Aku menaikkan alis. Bertanya apa yang ingin dia katakan saat masih jam pelajaran seperti ini.

Maida yang mengerti pun mulai menggerakkan mulutnya tanpa mengeluarkan suara sembari menunjuk dirinya sendiri dan buku matematika yang ada di depannya.

‘Tolong ajarkan aku matematika saat istirahat nanti’

Sekiranya itulah kalimat yang dapat kupahami dari gerak mulut dan tingkahnya.

Aku pun mengangguk sembari memberikan acungan jempol padanya.


>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>


“Nah.. Sekarang kamu udah ngerti ‘kan, Maida?” tanyaku.

Saat ini kami sedang menghabiskan waktu istirahat dengan belajar di perpustakaan sesuai dengan kesepakatan kami saat mata pelajaran matematika tadi.

Aku yang diminta untuk menjadi guru dadakan Maida pun setuju. Berakhirlah kami disini dengan aku yang menjelaskan materi dan Maida yang mengerjakan soal yang kuberikan.

“Ngerti kok, Liza.. “ ucap Maida.

“Penjelasan kamu mudah dimengerti. Dan.. wow. Aku masih ga nyangka kalo aku bisa ngerjain soal-soal ini. Kayak.. aku bahagia bangett. Rasanya waktu aku bisa ngerjain, timbul aja gitu rasa bahagia, rasa puas,” celoteh Maida lagi. Matanya tampak menyorotkan kekaguman pada kertas-kertas yang berhasil dia kerjakan. Raut wajahnya sangat berseri-seri saat ia berhasil mengerjakannya.

Aku termangu. Sepertinya kelebihan Maida sangat banyak ya. Lama-lama aku iri. Atau, sudah iri?

Sepertinya pikiranku itu harus dijernihkan segera. Jangan sampai di masa depan nanti timbul rasa kebencian untuk Maida hanya karena penyakit iri dariku ini.

“Maida. Kita ke kelas, yuk. Bentar lagi bel bunyi”

“Okeh.. Makasih karna udah ngajarin, Liza!”


>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>


     Teng Teng Teng Teng

Bel pulang sudah berbunyi. Semua murid pun dengan cepat membereskan barang-barang mereka—bersiap untuk pulang.

Termasuk aku. Dengan semangat, aku keluar dari kelas dengan riang sambil menikmati angin yang menerpa wajahku dengan lembut. Saking lembutnya, sesekali aku akan bersenandung sambil menutup mata.

Saat aku berjalan melewati lapangan sekolah, aku melihat Maida yang sedang berkumpul. Entah apa yang mereka lakukan, aku juga tidak tahu.

Aku berjalan dengan cepat ke sekumpulan orang itu. Rencananya, aku ingin mengajak Maida untuk pulang bersama.

“Mai—“

“Maida, Minggu besok kita pergi hangout, yuk! Kita berlima. Kalau mau ajak teman lain juga gapapa. Mau gak?” tanyanya. Namanya ‘Bella Violetta’. Itu sih yang kulihat dari name tag nya.

“Okeh!! Boleh ga kalo aku ajak Eliza?” tanya Maida dengan semangat.

“Em.. Eliza yang orangnya pendiem itu ‘kan? Tapi kalo sama kamu dia sering senyum. Eh, iya itu orangnya?” tanya Bella sambil mengerutkan dahi.

Sayup-sayup aku mendengar percakapan mereka. Sebenarnya aku merasa bersalah juga ketika menguping pembicaraan orang. Tapi, karena mereka membawa-bawa namaku, aku memilih untuk melanjutkannya saja.

Maida mengangguk.

“O-okeh” jawab Bella sedikit tak yakin.

Hah? Kenapa wajah Bella seperti itu? Apa dia tak suka jika aku datang? Lalu, kenapa dia mengizinkannya? Apa karena aku teman yang lumayan dekat dengan Maida?

Atau..

Karena aku jelek?

Masa sih?


>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>


“Ibuu.. aku pulang!” ucapku sedikit berteriak. Bukan maksudku untuk membentak. Maksudku, itu agar seisi rumah tahu jika aku sudah pulang. Begitu, lho. Agar mereka tidak mengira aku datang tiba-tiba.

“Eh, iya nakk.. Sini-sini” sahut ibuku.

Aku pun pergi ke ruang keluarga—tempat ibu berada. Dengan hangat, kusalami tangan ibuku.

“Gimana sekolahnya tadi?” tanya ibuku membuka topik pembicaraan.

“Baik-baik aja kok, Bu” jawabku.

“Ibu..”

“Menurut ibu, aku jelek, nggak”

Mendengar pertanyaan tiba-tiba bin aneh itu terlontar dari mulutku, tentu membuat ibuku terkejut.

“Enggak kok, nak. Kenapa kamu ngomong gitu?” tanya ibuku sedih.

“Ga ada Bu..” jawabku lirih.

Seketika ibu memegang kedua bahuku dan menatapku dengan lamat.

“Nak.. kamu itu cantik. Setiap perempuan itu cantik. Kamu berpikir kayak gitu karena kamu ada jerawat, ya?”

Aku mengangguk dalam diam. Sedari tadi, aku hanya menundukkan kepalaku. Takut melihat ibu.

“Itu wajar, kok. Jangan berpikir kamu ga cantik. Dibandingkan kecantikan penampilan dan fisik, lebih baik kamu memerhatikan kecantikan di dalam diri kamu. Akhlak.”

“Cantik dan tampan itu sebenarnya hanyalah sebuah pendapat. Jangan terlalu dipusingkan, okey?”

“Kamu itu cantik, unik dan berharga bagi Ibu. Makanya, ibu sama ayah kasih kamu nama Eliza—Unik dan Berharga.”

Aku mengangkat kepalaku dan mulai tersenyum.

“Ibu, makasih udah bikin aku sadar. Aku itu cantik dalam versi diriku sendiri. Aku ya Aku. Mereka ya mereka. Semua orang punya ciri khasnya tersendiri.”



Komentar

  1. Kita berbeda unik dan berharga bagi orang orang yang menyayangi kita....jadi nggak perlu insecure ya kan😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gausah insecure. Oh iya, ini terinspirasi dari blog mu Lin. Mwehehehe

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer