SADARLAH!

"Bagaimana, ya, cara mengerjakan soal ini? Dikali atau dibagi? Hah, mengapa juga aku harus terlahir dalam keadaan tidak pintar?! Membuatku susah saja!"

"Belum lagi tugas yang lain, tambah menumpuk saja pekerjaanku."

Berbagai keluhan itu berasal dari pojok perpustakaan. Disana terdapat seorang perempuan yang sedang menelungkupkan kepalanya di atas meja. Banyak buku yang berserakan disekelilingnya.

Sesekali bibirnya mencebik kesal dengan kakinya yang sedikit dihentak-hentakkan di bawah meja.

Ting

Lea

| Kamu dimana, Sya?

| Aku sedang makan di kantin. 

| Kamu tidak makan?

Pesan dari teman dekatnya, Lea.

Melihat itu, perempuan tersebut -- Meisya, menghela napas lelah. Dia menatap perutnya yang sudah keroncongan meminta makan. Dia terdiam sejenak. Dia ingin makan, tetapi tugas-tugas nya belum selesai. Memang tugas-tugas itu bisa saja diselesaikan di rumah. Hanya saja, jika ia tiba di rumah, jiwa rebahan nya bangkit tiba-tiba.

"Makan lebih penting! Kalau aku tidak makan, aku bisa pingsan dan berujung menyusahkan orang lain. Tugas-tugasku pun tidak akan selesai. Aku juga akan tertinggal pelajaran," pikirnya riang sambil bertepuk tangan. 

Ia pun segera mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu disana. Membalas pesan dari Lea.

Anda

| Aku segera kesana!

Dengan sigap, ia mengemasi tugas dan perlengkapannya yang ia bawa tadi. 

Ia pun segera beranjak keluar perpustakaan menuju kelas. Dia ingin meletakkan barang-barang ini terlebih dahulu.

Dengan perut yang sudah meronta-ronta untuk diisi, kakinya segera berjalan cepat menuju kantin.

Setibanya disana, matanya bergerak cepat mencari dimana temannya berada. Memicing. Ah, Lea ada di sudut kantin ternyata.

"LEAA!"

Senyumnya mengembang. Lebar. Matanya membentuk bulat sabit. Tangannya pun membentang ingin memeluk temannya itu.

"Heh, nada suaranya! Jangan teriak-teriak! Kamu mau ditatap aneh sama orang-orang di kantin? Lain kali, jaga sikapnya, ya," bisik Lea. Wajahnya memerah entah karena malu atau kesal. 

"Kamu salah, Lea. Aku hanya teriak sekali, bukan berkali-kali," ucap Meisya polos. Bukan polos, sebenarnya. Melainkan, ia hanya ingin 'sedikit' memancing emosi Lea.

Lea hanya tersenyum. Senyum paksa.

'Uh, senyum apa itu? Aku tidak melihat unsur keikhlasan di dalam senyumannya' batin Meisya sembari mengernyitkan dahi.

"Sudahlah, lebih baik kamu makan. Jam istirahat segera habis jika kamu masih termenung memikirkan hal yang tidak penting," kesal Lea. Dia mendorong sepiring nasi goreng yang baru saja tiba.

'Wah, apa itu untukku? Apa dia baru saja mentraktirku? Daebak! Keajaiban ini!' batin Meisya. Matanya bergulir melihat sepiring nasi goreng itu lalu melihat ke arah Lea.

Melihat nasi goreng, lalu melihat Lea. 

Nasi goreng.   

Lea.

Nasi goreng.

Lea.

Nasi goreng.

Lea.

Tuk 

Sentilan itu berasal dari Lea. Tentunya untuk Meisya. Alasannya? Lea merasa risih dengan tatapan Meisya yang tertuju padanya juga pada nasi goreng yang tadi ia sodorkan. Tak hanya sekali. Tapi berulang kali. Entah apa yang dipikirkan oleh Meisya ini, sampai ia melakukan hal aneh itu.

"Shh.. kenapa kamu menyentilku, sih?! Bikin dahiku sakit saja," sungut Meisya sambil mengelus dahinya yang merah.

"Kamu, sih! Tatapanmu itu membuatku risih sekaligus kesal," sahut Lea ikutan kesal. Bibirnya sampai mencebik saking kesalnya.

"Cepat selesaikan makananmu! Aku ingin ke kelas. Dan jangan lupa bayar makanannya! Aku sudah berbaik hati untuk memesannya. Dan sekarang, kamu yang membayarnya. Lagipun, nasi goreng itu juga kamu yang memakannya," jelas Lea.

"Eh? Jadi ini murni bukan untukku? Maksudku, ini aku bayar sendiri? Yah.. uangku jadi berkurang," sedih Meisya sambil mengaduk-aduk nasi goreng di depannya asal.

"Diam! Kamu pikir segala sesuatu di dunia ini gratis apa? Tentu saja tidak," 

'Benar, tidak ada yang gratis di dunia ini' batin Lea. 

"Kenapa, Le?" kepo Meisya.

Lea memutar bola mata malas. Bercengkerama dengan Meisya membuat energinya tersedot cepat. Ia lelah.

"Tidak ada" 

Hening.

"Lea,"

"Lea,"

"Lea~"

Lea mengernyitkan dahi. Terusik dengan berbagai panggilan temannya itu. 

"Apa?" Tanya nya.

"Kamu mau tidak mengajarkanku mengenai tugas matematika yang diberikan Bu Mela kemarin? Aku sudah berpikir keras, tapi aku tetap tidak tau bagaimana cara mengerjakannya," tanya Meisya. Ia mulai memegang tangan Lea sambil berharap bahwa Lea dapat mengiyakan pertanyaannya.

Dengan pertimbangan yang sedikit lama. Lea menganggukkan kepalanya.

"Kita belajar di rumahmu saja," jawabnya.

"Oke! Terima kasih, Lea!" girang Meisya sembari menggoyang-goyangkan tubuh Lea ke kanan dan ke kiri. Itu membuat Lea sedikit pusing. Dengan sedikit teguran, Meisya berhenti dan mengeluarkan cengiran andalannya.

"Maaf, ya. Aku terlalu bersemangat tadi," 

"Hem"


∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆


"Kita lakukan pembagian dulu, baru kita bisa melanjutkan pencarian jawabannya," jelas Lea. Dia tampak serius mengajari Meisya. Berbeda dengan Meisya, ia malah sibuk merenungkan hal lain. Entah pikiran apa lagi yang sedang hinggap di kepalanya itu.

'Ini angka apa, sih? Kenapa dia harus kolaborasi sama huruf? Apakah angkanya ingin mencoba hal baru?'

'Ini juga, si Lea serius sekali. Aku jadi merasa sedikit aneh karena jarang melihat dia dalam mode serius' 

'Huh.. tenang Meisya. Fokus' 

"Aku masih tidak mengerti," sedih Meisya. Pundaknya menurun. Air mukanya tampak masam.

"Aku lelah. Bagaimana jika kita melanjutkannya besok? Mendadak aku ingin tidur," sambungnya.

Dengan santai Meisya menutup buku-buku yang ingin diajarkan oleh Lea tadi. Mengemasnya dan memasukkannya ke dalam tas. Lalu beranjak ke kasur, bersiap untuk tidur.

"Bangunkan saja aku saat kamu ingin pulang, Lea!" Ujar Meisya mengingatkan sebelum menutup matanya.

Hening.

Lea tidak menjawab.

Meisya mengernyit. Kenapa Lea diam saja? Meisya membuka matanya. Menoleh ke samping, melihat Lea yang kini sedang terdiam di dekat meja belajar.

Lea tetap diam. Kepalanya menunduk. Tidak menggubris Meisya.

"Lea?"

Meisya mencoba untuk beranjak, mendekati Lea dan menepuk bahunya. Bisa saja Lea sedang termenung, pikirnya.

Tak diduga, Lea malah menjauhkan tubuhnya dari Meisya. Menghindari sentuhan Meisya. 

"Meisya"

Satu kata. Hanya itu yang dikatakan oleh Lea.

"Kalau kamu tidak ingin diajari, jangan meminta untuk diajari. Kamu bertingkah seolah-olah kamu tidak bersalah. Meminta orang untuk meluangkan waktunya untukmu, lalu tiba-tiba membatalkannya," ujar Lea masih dengan kepalanya yang menunduk.

"Aku merasa dipermainkan. Kamu tahu, waktu itu sangat penting bagiku, karena waktu tidak dapat dikembalikan. Sedangkan kamu, adalah orang yang tidak menghargai waktu. Meminta waktu orang lain, dan menghabiskannya untuk hal yang ternyata tidak jadi dilakukan," sambungnya.

Hening lagi.

Lea terkekeh. Hambar. Ia mulai mengangkat kepalanya. Mukanya merah. Tangannya terkepal erat.

"SADAR! JANGAN BERTINGKAH SESUKA HATIMU, MEISYA!" teriak Lea. Wajahnya tambah merah. Urat-urat wajahnya tampak. Matanya merah membola. Untung saja rumah Meisya sedang kosong. Kalau tidak, siap-siap saja.

"K-kalau saja.. a-aku menolak permintaanmu, mungkin aku s-sekarang sedang berada di rumah sakit. A-aku sedang menemani a-ayah.. " Racau Lea. Ia mundur perlahan sampai punggungnya terhenti akibat terhalang oleh dinding kamar. Tubuhnya merosot. Nadanya mulai melambat. Tersendat. Tak lupa air mata turut serta di wajahnya.

"T-tidak.. S-setidaknya, a-aku tidak terlalu menyesal, j-jika ak-aku tidak melakukan hal sia-sia dan memanfaatkan waktuku se-sebaik mungkin. Mempertimbangkan berbagai hal. Padahal, aku hanya punya ayah sekarang. Tapi aku malah meninggalkan ayah, dan membuat waktuku terbuang sia-sia," sambungnya. Ia menutup wajahnya. Menangis keras. Menyesal. Andaikan ia menolak permintaan Lea, atau setidaknya, ia bisa melakukan hal-hal yang bermanfaat sebelum bertemu dengan ayahnya. Mungkin.. ia tidak akan semenyesal ini. 

Awalnya, ia ingin menolak karena  ia ingin menemani ayahnya yang sedang berada di rumah sakit. Tapi mengingat kondisi beliau yang stabil, ia memutuskan untuk membantu temannya ini.

Tapi, baru sebentar ia mengajari Meisya. Ponselnya berbunyi. Ada pesan dari pihak rumah sakit. Dokter itu mengatakan, bahwa ayahnya kembali drop karena tidak bertemu dengannya. Pesan itu pun bertepatan dengan perkataan Meisya yang lelah belajar dan ingin tidur.

Bagaimana dia ingin menahan amarahnya? Dia kecewa. Sungguh. Dia kecewa terhadap dirinya sendiri.

Bergegas ia membereskan barangnya. Ia harus ke rumah sakit untuk melihat kondisi ayahnya. 

"Aku pulang,"

Hanya dua kata yang diucapkan oleh Lea sebelum ia menutup pintu kamar Meisya.

Dan sekarang,

Hanya tersisa keheningan yang menyelimuti kamar itu.



































Rumah Sakit Jiwa Bumantara 

Lokasi Lea saat ini.

"Ayah.. aku harap, ayah tidak berbuat hal yang bisa membuatku kecewa"
















































»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»



"Orang tidak akan punya waktu untuk Anda jika Anda selalu marah atau mengeluh"
~ Stephen Hawking 

"Waktu takkan bisa terulang kembali, maka dari itu jangan pernah menyia-nyiakan waktu yang kamu punya saat ini."
sumber : https://www.bola.com/ragam/read/4503195/49-kata-kata-bijak-tentang-waktu-sumber-perenungan 














































Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer