Bu Lita
Teng Teng Teng
"Hah, padahal aku baru saja merasakan nikmatnya jam istirahat, tapi bel sudah berbunyi duluan," Eira – temanku, menggerutu kesal. Entah apa yang sejak tadi dilakukan oleh Eira, sehingga dia hanya menikmati jam istirahat sebentar saja.
"Sudahlah, memang dengan kamu menggerutu seperti itu jam istirahat akan bertambah lama?," Ocehku ikutan kesal. Kecuali jika kita free class dan tidak ada tugas, barulah kita bisa beristirahat sejenak – mungkin.
Aku menepuk bahu Eira seraya mengodenya melalui lirikan mata ke arah pintu, disana sudah ada guru yang akan mengajar mata pelajaran selanjutnya.
"Baik, kita akan melanjutkan pembahasan tentang materi yang sempat kita hentikan sejenak kemarin," Ucap guru tersebut memulai pelajaran.
Seraya mengambil spidol dari tempat alat tulis, Bu Lita – guru tersebut, mulai berbicara mengenai materi apa saja yang akan dipelajari untuk kedepannya.
Kemudian, beliau menulis beberapa kalimat yang penting untuk dicatat.
Awalnya hanya beberapa kalimat, tapi lama-kelamaan kalimat-kalimat tersebut terus bercabang. Entah itu bercabang ke atas, ke samping atau ke bawah. Bahkan ada kalimat yang sudah berdempet-dempet sehingga sulit dibaca, belum lagi posisinya yang dibuat miring, itu membuat murid-murid di kelas ikut memiringkan kepala mereka agar dapat membacanya.
Aku yang melihat keadaan papan tulis yang sekarang hanya dapat tersenyum lelah.
Untuk diriku sendiri, Semangat! Batinku menyemangati.
"Nah… silakan dicatat ya, Ananda. Materi yang ada di papan tulis ini sangat penting sehingga sewaktu-waktu dapat keluar di soal ujian nanti," jelas Bu Lita sembari beranjak ke kursi dan duduk.
Sembari menunggu kami menyelesaikan catatan, Bu Lita mulai berbicara random, entah itu mengenai kehidupan di sekolah, sikap murid-murid, ataupun sejarah hidup Bu Lita. Iya, seasik itu beliau. Beliau agaknya kurang menyukai keheningan. Kecuali jika ada hal yang penting yang mengharuskannya untuk diam.
"Nah, waktu itu saya berhasil kabur dari pencopet itu, barang saya yang dia ambil tadi dengan cepat saya rebut, setelah itu saya lari entah kemana, dimana disitu penuh dengan kerumunan," curhat Bu Lita panjang lebar sambil mempraktekkan adegan tersebut dengan tangannya.
"Lalu bagaimana dengan si pencopet tadi, Bu?" Tanya salah satu murid. Raut penasarannya tampak kentara di wajahnya.
"Nah.. itu dia! Saat saya sedang berada di tengah-tengah kerumunan itu, tiba-tiba saya haus. Saya pergi ke sebuah toko tua disana. Sepi. Saat saya ingin membayar, penjualnya tidak ada," Bu Lita merinding. Aku bisa melihat tangannya sedikit gemetar. Entah apa yang dialami oleh Bu Lita setelah itu, aku tidak tahu.
Murid-murid yang sempat mendengar cerita Bu Lita pun mengkerutkan kening. Aneh. Masa tokonya tidak ada penjual? Apa mungkin penjualnya sedang ada keperluan diluar sebentar? Kalaupun memang begitu, mengapa dia tidak meminta seseorang untuk menjaga tokonya? Setidaknya, ia bisa menutup toko tersebut agar tidak ada orang yang mempunyai niat jahat pada dirinya.
"Ibu yakin kalau toko tersebut tidak ada penjualnya? Bisa saja dia sedang tidur, Bu" sahut Eira memecahkan keheningan yang terjadi selama beberapa waktu tadi.
"Ibu.. yakin," jawab Bu Lita.
Aneh. Mengapa Bu Lita menjawabnya dengan penuh ragu? Padahal tadi beliau bisa bercerita dengan sangat lancar.
"Bu, bagaimana dengan kelanjutan ceritanya?" Tanya Eira. Sepertinya dia sangat penasaran dengan cerita Bu Lita, padahal saat ku lihat dia belum selesai mencatat materi yang ada di papan tulis. Dia malah sibuk mencoret-coret kertas.
"Ehem. Setelah itu, saya memutuskan untuk meletakkan kembali minuman yang saya bawa ke kasir tadi. Tidak jadi membeli."
Bu Lita berhenti sejenak. Beliau pun mengambil botol minum yang selalu dibawa kemana-mana dan meminumnya.
"Tepat saat saya meletakkan minuman itu, sekilas saya sempat melihat kilasan bayangan, lewat di sebelah saya," lanjut beliau.
Murid-murid di kelas bergidik ngeri. Entah karena cerita beliau yang menyeramkan atau memang karena pembawaan beliau dalam bercerita yang begitu seram.
Iya. Beliau bercerita dengan nada yang mulai melambat, matanya dingin, belum lagi hawa yang tak enak di sekelilingnya.
"Dia.. pencopet itu. Dia tiba-tiba muncul saat saya berbalik badan. Sedang tersenyum. Senyum yang lebar. Giginya terlihat kuning, tapi rapi. Matanya.. gelap. Kelam. Seperti tak ada cahaya yang bisa menembusnya," sontak beliau berdiri setelah mengucapkan kalimat itu. Beliau membalikkan tubuhnya menghadap ke papan tulis yang sudah penuh dengan coretannya.
"Hehehe.."
Baru saja aku duduk seusai mengumpulkan catatan ke meja beliau, suara kekehan terdengar. Mengisi kelas yang saat ini hening.
Apa? Apa itu tadi? Siapa yang sedang tertawa? Memang ada yang lucu?
"Hehe..hehe…"
Suaranya berasal dari depan.
Bu Lita?
Ada apa dengan beliau?
Disaat ada banyak pertanyaan yang sedang menubruk isi kepalaku, di depan sana–Bu Lita mulai membalikkan tubuhnya ke arah kami.
Begitu pelan..
Begitu mendebarkan..
Wajah beliau tak terlihat karena kepalanya yang menunduk. Melihat ke bawah. Sesaat aku merasa bahwa lantai lebih indah dipandang daripada kami–murid-murid di kelas ini. Tapi disisi lain, aku merasa jika lebih baik beliau terus menundukkan kepalanya seperti itu. Bukan bermaksud bahwa kami 'lebih' dari beliau. Bukan. Tetapi, aku hanya merasa bahwa ada sesuatu yang 'sedikit' buruk jika beliau mengangkat wajahnya.
Drap..
Drap..
Drap..
Napasku–tidak, Napas kami tertahan. Langkah kaki yang terus melangkah dan berirama itu perlahan maju ke arah kami semua. Dan berhenti tepat di tengah-tengah kelas.
Buruk, sangat buruk!
Mengapa juga saat ini aku yang mendapat giliran untuk duduk di bagian tengah kelas.
Deg
Sentuhan dingin terasa begitu nyata di pipiku. Dinginnya seperti habis memegang es batu.
Itu tangan. Tangan Bu Lita. Kepalanya masih menunduk seraya mengusap pelan pipiku.
Aku takut. Aku memilih untuk menutup mata. Merapal berbagai doa di dalam hati. Berharap bahwa hari ini aku masih bisa pulang dengan selamat.
Perlahan, aku merasa pipiku sudah terbebas dari tangan Bu Lita.
Huh, lega..
Tapi, itu tak bertahan lama…
Karena..
"UHUK UHUK!!!"
"BU LITA!"
Bu Lita mencekik ku secara tiba-tiba. Tanpa aba-aba. Ternyata tangannya yang melepas pipiku tadi itu berarti pertanda jeda. Jeda sebelum dia mencekik ku dengan begitu kuat. Seakan aku pernah mempunyai kesalahan yang besar sehingga membuat dia memiliki dendam tersendiri terhadapku.
Sesaat, aku merasa pasokan oksigen semakin menipis. Aku kesulitan bernafas. Nafasku mulai terengah-engah. Pandanganku mulai kabur. Aku pingsan.
Sebelum itu, aku menyadari suatu hal. Bu Lita yang mengajariku tadi, bukanlah Bu Lita yang sebenarnya. Bu Lita adalah orang yang selalu yakin dengan ucapannya. Walaupun beliau ragu, dengan tegas ia akan mengemukakan keraguannya. Setidaknya beliau akan memastikan sampai ragunya hilang. Beliau juga bukan orang yang suka dengan tempat yang sepi.
Jadi..
Siapa orang yang mengajari kami tadi?
Dan..
Kenapa Eira tersenyum di detik-detik aku akan pingsan.
Apa mataku yang salah lihat?
"Waspada! Jangan terlalu percaya pada siapapun, apalagi manusia. Kamu tidak akan pernah tau, apa yang mereka sembunyikan"
Cocok nur jadi penulis ko👍👍👍
BalasHapusIya cocok
Hapus